Time is Money in True Perspective
Manusia diciptakan dengan fisik yang berbeda-beda.
Bukan hanya secara fisik saja yang berbeda melainkan juga kondisi dari setiap
aspek kehidupan manusia pun berbeda-beda. Manusia tentunya memiliki berbagai
macam aspek kehidupan, seperti keluarga, kesehatan, studi/pendidikan, agama,
finansial/keuangan, dan masih banyak lagi. Setiap aspek kehidupan bersifat
saling berkaitan. Misalnya, aspek pendidikan berkaitan dengan aspek kesehatan
(seseorang dapat hidup sehat jika ia memiliki pengetahuan yang baik melalui
pendidikan tentang pola hidup sehat). Salah satu aspek yang tidak pernah lepas
dari kehidupan manusia adalah finansial/keuangan. Keuangan berdampak terhadap
seluruh aspek kehidupan manusia. Sampai pada suatu ketika ada seseorang yang membuat
slogan tentang “uang” yang memiliki pengaruh yang besar terhadap mindset
orang-orang (pengaruhnya pun bahkan sampai generasi saat ini. Tetapi saya secara pribadi
tidak sepenuhnya setuju dengan slogan tersebut). Slogan tersebut berbunyi
demikian “Time is Money”. Dengan
pernyataan tersebut seolah-olah manusia hidup hanya untuk mencari dan mencari
dan terus mencari uang (mencari uang sebanyak-banyaknya) tanpa memiliki tujuan
yang baik, sehat dan berdampak dari sikap antusiasme mencari uang. Manusia
bekerja sekeras mungkin untuk memperoleh uang yang banyak sehingga mereka dapat
memperoleh “kebahagiaan” sehingga muncullah slogan “uang dapat menciptakan
kebahagiaan”.
Mari kembali ke slogan tersebut “time is money”. Saya
pribadi menambahkan pernyataan pada slogan tersebut menjadi “time is money to spread it out in any form for life”. Slogan yang
saya pribadi buat pada intinya adalah manusia memang perlu untuk mencari uang
tetapi tidak berhenti hanya mencari uang saja, melainkan ada tujuan dari
mencari uang tersebut, yaitu untuk disebarkan (dalam bentuk apapun) sehingga
dapat berdampak pada kehidupan. Kok uang disebarkan? Maksud saya adalah
disebarkan ke orang-orang yang kondisi finansial/keuangannya kekurangan atau
orang-orang yang membutuhkan kebutuhan-kebutuhan primer dan sekunder dalam
hidupnya. Pertanyaan selanjutnya yang mungkin muncul dalam benak kita adalah
“terus kalau hidupku berkekurangan juga gimana? Emang bisa memberi ke orang
lain?”. Keadaan finansial/keuangan yang berkekurangan tetap bisa memberi.
Memberi disini jangan selalu
diartikan “memberi dalam jumlah yang besar”, tetapi yang benar adalah “memberi
sesuai kemampuan masing-masing pribadi tetapi kalau ada diantara kita yang mau
memberi lebih dari yang kita mampu itu pun adalah hal yang baik juga”.
Suatu hari saya sedang menuju pulang ke rumah tetapi
saya mampir ke pasar yang terletak di salah satu daerah bagian Jakarta Selatan
untuk belanja bahan-bahan makanan di rumah karena sudah mau habis. Ketika saya
sampai di pasar tersebut, saya tidak langsung belanja bahan-bahan makanan
tetapi mencari tempat makan (karena udah cukup larut malam dan saya belum
makan, jadinya laper hahaha). Ketika saya selesai makan, ada seorang ibu-ibu
tua, penampilannya berantakan, dan sedang membawa plastik kiloan yang sudah
bekas dan berisikan sedikit nasi bekas yang (kemungkinan) dia ambil dari
sisa-sisa makanan yang ada di sekitar pasar tersebut. Kemudian terjadilah
percakapan diantara kami di suatu tempat makan (I = ibu-ibu; S = saya; P =
penjual).
I : Mas, boleh minta sisa nasi yang ada di piring mas gak? Buat anak saya belum makan (berbicara dengan suara seperti orang lemah dan lesu).
S : (karena saya tidak begitu jelas mendengar perkataan ibu-ibu tadi akhirnya saya memintanya untuk mengulangi pertanyaannya) “ada apa, bu?
I : Boleh minta sisa nasinya gak mas? Gapapa yang sisa di piring mas aja, anak saya belum makan mas
(Saya melihat matanya seperti orang yang sangat merana dan hendak menangis karena kondisi kehidupannya. Kemudian saya memutuskan untuk membantu ibu tersebut).
S : Oh.. jangan bu. Jangan nasi yang bekas. Saya beliin aja ya yang baru. Ibu lauknya mau apa?
I : Gapapa mas nasi bekasnya aja. Saya gak enak mas kalau pakai lauk
S : (ibunya gak enakan, tetapi saya tetap memutuskan untuk membelikannya se-porsi makanan dengan 3 jenis lauk. 3 jenis lauk saya belikan dengan tujuan untuk dianya juga, karena saya yakin pasti dia sendiri pun belum makan). Bu, bungkusin satu nasi ya… lauknya……..
P : Iya mas. Sebentar ya mas..
I : Ya ampun mas, gak usah mas. Nasinya aja gapapa… yang penting anak saya bisa makan
S : Gapapa bu…
P : Mas, ini nasinya. Semuanya jadi Rp………
S : Ini bu uangnya. Makasih ya bu
P : Iya mas.. sama-sama
S : Ibu.. ini nasi sama lauknya buat ibu. Gapapa bu…
I : Ya Allah.. makasih banyak ya mas… moga-moga mas bisa kerja sampe ke mancanegara, mengabdi buat negeri juga, dapet istri yang baik, yang cantik, punya anak yang baik juga.. anak anak mas bisa sarjana semua juga nanti
S : Amin bu… makasih ya bu…(Sebenernya mau ketawa pas ibunya ngomong tentang istri dan anak, padahal pacar aja belom ada hahaha).
Kejadian (dalam bentuk percakapan) di atas sebenarnya
terjadi ketika saya sedang dalam kondisi kekurangan, karena pada waktu itu saya
sedang dalam masa pengerjaan skripsi yang tentunya membutuhkan banyak uang
untuk print revisi, jurnal, dan lain sebagainya. Beberapa jam setelah kejadian
tersebut saya teringat akan suatu kisah di dalam surat 2 Korintus 8 : 1 – 5. Menceritakan
tentang jemaat di Makedonia yang rela memberi meskipun dalam kondisi yang
sangat miskin (ay. 2). Pemberian mereka pun dapat dikatakan bukan dalam jumlah
yang kecil tetapi jumlah yang cukup besar (ay. 3). Fyi, kalau kita lihat di
Makedonia, itu terdiri dari 4 daerah (Berea, Tesalonika, Apolonia, Neapolis).
Kalimat “jemaat Makedonia rela memberi dalam kekurangan” menyatakan bahwa
jemaat Makedonia dari 4 daerah tersebut bekerja sama untuk membantu perjalanan
pelayanan Paulus dan jemaat-jemaat lainnya di Yerusalem. Hal ini juga
menunjukkan bahwa kerjasama dan kesatuan
sungguh dibutuhkan dalam melengkapi satu dengan yang lain tentang kekurangan
(dalam konteks cerita ini adalah kekurangan keuangan).
Saya secara pribadi pun bergumul untuk dapat memberi
(khususnya ketika dalam kondisi sedang berkekurangan). Tetapi kalau saya tidak belajar memberi dari yang terkecil sekalipun sedang
dalam kondisi berkekurangan, kapan saya dapat belajar bahwa memberi itu penting
dalam segala kondisi? Kejadian tersebut membuat saya mengucap syukur karena
saya meyakini bahwa Tuhanlah yang menggerakkan hati saya. Dia yang memberi saya hati yang penuh belas kasihan kepada
orang-orang yang lemah, berkekurangan. Tanpa pekerjaan Tuhan dalam hati saya,
mustahil saya mau memberi bantuan kepada orang-orang (apalagi orang-orang
yang berkekurangan). Once again, I know it was Holy Spirit Who worked in my heart
and made me to do something at that moment.
Perpustakaan Universitas Negeri Jakarta
Komentar
Posting Komentar