Mengapa Kita ada di dalam Keluarga yang Retak?


Keluarga diartikan dalam beraneka ragam makna oleh setiap orang. Salah satu makna dari keluarga yang sering kita dengar atau pahami (bahkan mungkin sampai sekarang) adalah harta yang berharga dalam kehidupan manusia. Oleh karena keluarga adalah harta yang berharga maka tak jarang manusia melakukan banyak hal demi keluarganya masing-masing, seperti meningkatkan reputasi atau derajat keluarga dengan cara mengumpulkan harta sebanyak-banyaknya sehingga diakui oleh banyak orang sebagai keluarga yang “berkelimpahan”. Hal lain yang biasanya manusia juga lakukan terhadap keluarganya adalah meningkatkan nilai dari keluarga itu sendiri dengan cara bekerja sekeras mungkin untuk memperoleh penghargaan (di sekolah, di pekerjaan, bahkan mungkin di negara tempat ia tinggal) sehingga dikagum-kagumi atau disanjung oleh banyak orang sebagai keluarga yang “terhormat” atau “ternama” karena segudang penghargaan yang telah diperoleh melalui hasil kerja kerasnya.
            Dari tiap sebutan terhadap keluarga yang sudah saya uraikan, (keluarga yang berkelimpahan atau keluarga yang terhormat) kita perlu mengetahui satu hal bahwa kita tinggal di dalam dunia yang sudah jatuh ke dalam dosa. Dampak dari keberadaan kita di dalam dunia yang sudah jatuh ke dalam dosa adalah setiap keluarga pasti mempunyai pergumulan (entah se-baik apapun keluarga tersebut dipandang oleh orang-orang sekitarnya atau se-berlimpah apapun hartanya, kita tetaplah berada di dalam keluarga yang sudah jatuh ke dalam dosa dan di dalamnya tentu terdapat berbagai macam pergumulan).
          Beberapa dari kita mungkin lahir dari keluarga yang berkelimpahan tetapi memiliki pergumulan dalam hal “keharmonisan”. “Keharmonisan” dalam sudut pandang beberapa keluarga diukur dan diaplikasikan dalam bentuk uang (seberapa banyak uang yang diberi oleh orang tua terhadap anak). Padahal tidak setiap saat anak membutuhkan uang, melainkan kasih sayang yang nyata dari orang tuanya. Beberapa dari kita mungkin lahir dari keluarga yang broken home. Kata “broken home” disini jangan diartikan secara sempit. “broken home” dalam pandangan dan hasil perenungan pribadi saya adalah keluarga yang mempunyai “keretakan” dalam hal relasi satu sama lain. Misalnya: orang tua sering bertengkar sehingga mengakibatkan anak menjadi frustrasi, orang tua mempunyai anak yang hidupnya tidak teratur (berandalan), dan bahkan sampai di puncak dari “broken” itu sendiri adalah keluarga tersebut sungguh-sungguh terpisah.
            Sebelum saya lanjut mengenai apa tugas kita di dalam keluarga yang sudah “retak”, saya mau bahas sedikit kalimat saya di awal tentang “keluarga adalah harta yang berharga”. Kalau kita menyatakan bahwa keluarga adalah harta yang berharga, kita perlu mengetahui juga bahwa Allah pun memandang kita “sangat berharga”, karena kita adalah ciptaan-Nya yang mulia (diciptakan menurut gambar dan rupa Allah). Tetapi oleh kejatuhan kita ke dalam dosa, kita menjadi berseteru dengan Allah, dengan kata lain tidak ada perdamaian antara Allah dengan kita sebagai ciptaan-Nya.
            Tetapi Allah begitu mengasihi kita, Ia rela mengorbankan diri-Nya untuk kita bisa kembali berdamai dengan Dia (Kolose 1 : 20). Allah menyerahkan diri-Nya (Yesus Kristus) agar manusia bisa berdamai dengan-Nya. Lantas, apa hubungannya dengan keluarga? Saya ambil contoh, mungkin kita ada di dalam keluarga yang “broken home” seperti yang saya jelaskan di 2 paragraf sebelumnya (entah apapun bentuk “broken” dari keluarga kita). Allah tidak kebetulan menempatkan kita di keluarga kita masing-masing. Allah mau menyatakan diri-Nya sebagai “jalan pendamaian” di tengah keluarga yang “broken” tersebut melalui kita. Apa buktinya? Kembali ke pernyataan sebelumnya “kita diciptakan menurut gambar dan rupa Allah” itu berarti manusia adalah representasi dari Allah. Jika kita terbawa arus dengan suasana “broken” tersebut berarti kita sedang tidak mewujudnyatakan siapa Allah di dalam keluarga kita.
            Allah kita adalah Allah yang berkorban demi pendamaian dengan ciptaan-Nya. Begitu juga dengan diciptakan-Nya kita di tengah keluarga yang “broken”. Allah mau kita menyatakan atau membawa damai di tengah keluarga kita. Seperti halnya ketika Yesus sedang berkhotbah di atas bukit, salah satu ucapannya adalah “berbahagialah orang yang membawa damai, karena mereka akan disebut anak-anak Allah” (Matius 5 : 9). Dari ayat ini bukan berarti untuk menjadi anak Allah kita harus membawa damai, bukan demikian. Tetapi yang dimaksud dari ayat tersebut adalah, indikasi dari sebutan kita sebagai “anak Allah” seharusnya kita membawa damai di manapun kita berada (termasuk di tengah-tengah keluarga). Kita telah ditebus oleh Kristus dan penebusan tersebut menjadikan kita sebagai anak-anak Allah dan kita dipanggil oleh Allah untuk membawa damai di tengah keluarga kita masing-masing sehingga melalui hidup kita, banyak orang (termasuk keluarga kita) dapat melihat Allah di dalam diri kita.

I wrote this story when I was enjoy the sunset around my house. I hope you guys can learn something new yet precious from this story.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Harapan itu ada, pasti, dan nyata

Chapter V Memulai Kehidupan yang Baru

Korupsi? Santuy Wae...