Orang Tua yang Membanding-Bandingkan Anak atau Anak yang Membanding-Bandingkan Orang Tua?


Hi…. Welcome back to my blog…. Here’s the new article that I’ve promised to upload today. Jadi… artikel kali ini merupakan hasil request dari orang-orang yang sebagian besar menginginkan saya untuk membahas hal-hal penting di dalam keluarga, yaitu tentang perspektif kita sebagai anak di dalam keluarga yang memiliki berbagai macam kondisi (broken home, tidak harmonis, dan lain-lain). Karena cukup banyak yang menginginkan saya untuk bahas hal-hal penting di dalam sebuah keluarga, jadi saya khususkan selama 1 bulan ini, saya akan bikin artikel tentang keluarga. Sekarang…. Langsung aja guys…. Masuk ke pembahasan utama artikelnya. Selamat membaca dan merenung guys….

Di bawah ini terdapat 3 dialog antara anak dengan orang tua tentang beberapa fokus pembicaraan. Dialog ini merupakan dialog yang nyata dialami oleh sebagian orang

1. Orang tua membandingkan anaknya didasari talenta yang dimiliki

Di ruang tamu terjadilah percakapan antara orang tua dengan anak bungsu

Orang tua: “Kamu itu bisa gak sih kayak kakakmu. Coba liat dia, kemampuannya banyak. Kamu mah apaan… bingung ayah sama ibu kalau ngeliat kamu”

Anak bungsu: “Ya… aku kan emang cuma bisanya segini aja. Aku udah usaha kok buat ngembangin talenta aku. Cuma ya mungkin segini aja talenta aku”

Orang tua: “Masa talenta kamu segitu doang. Kalau kamu usaha harusnya ada perkembangan sama talentamu itu. Kamunya aja gak se-rajin kakakmu”

Anak bungsu: “Yaudah lah terserah ayah sama ibu aja. Males ngomong aku jadinya. Terus aja banding-bandingin aku sama kakak”

Setelah percakapan tersebut si anak bungsu masuk ke dalam kamarnya dan merenung

Anak bungsu: “Kenapa sih dibanding-bandingin mulu. Udah gitu gak percaya lagi kalau gua udah berusaha keras ngembangin talenta gua ini. Tetep aja direndahin. Mungkin di pandangan mereka gua gak bisa apa apa kali. Gak bisa bermanfaat. Tau lah… capek kalau ngomong sama orang tua sendiri. Ujung-ujungnya pasti selalu direndahin.”

2. Orang tua membanding-bandingkan anaknya didasari fisik (anak dari orang tua tersebut mempunyai penyakit bawaan sejak lahir)

Dalam sebuah keluarga, terdapat anak yang memiliki kecacatan fisik pada salah satu bagian tubuhnya (tidak bisa berjalan normal). Terjadilah percakapan antara ayah dan ibu tentang anaknya

Ayah: “Bu, kapan ya anak kita bisa sembuh kakinya, terus bisa jalan normal kayak anak-anak tetangga kita?”

Ibu: “Iya ya… capek banget aku juga ngurusinnya. Nanti kalau udah gede gimana ya? Gak bisa kerja dong.. masa kita terus yang harus nyari uang buat kebutuhan hidup”

Secara tidak sadar dan tidak sengaja anak dari orang tua tersebut pun mendengar percakapan mereka berdua.Kemudian anak tersebut merasa sedih dan masuk ke kamarnya

Anak: “Kenapa ya orang tuaku sendiri ngomongnya kayak gitu. Seolah-olah aku udah gak ada gunanya lagi jadi anak. Padahal ini kan penyakit sejak lahir. Kalau kayak gini caranya, buat apa lagi aku hidup? Kayaknya udah gak ada artinya lagi aku hidup

3. Anak yang membanding-bandingkan orang tuanya dengan orang tua lain didasari kasih sayang atau perhatian orang tua kepada anak

Di ruang tamu terjadilah percakapan antara orang tua dengan anak-anaknya

Orang tua: “Dek, kamu udah makan belom? Makan dulu.. udah siang..”

Anak bungsu: “Iya bu. Ini aku mau makan”

Anak sulung: (berkata dalam hatinya) “kok cuma adek gua ya yang diperhatiin? Kayaknya jarang banget gua diperhatiin.”

Beberapa hari kemudian terjadilah percakapan lainnya antara orang tua dengan anak-anaknya

Orang tua: “Dek, gimana tadi sekolahnya? Ada pelajaran yang susah gak?”

Anak bungsu: “Ada bu. Pelajaran Matematika. Kayaknya aku emang agak susah kalau belajar Matematika”

Orang tua: “Oh… yaudah, nanti kamu les aja. Ada bimbel bagus yang ibu sama ayah tau. Nanti didaftarin bimbil ya…”

Anak bungsu: “Iya… Nanti aku ikut bimbel.”

Anak sulung: (berkata dalam hatinya) “Gilirin gua ada mata pelajaran yang gak gua bisa gak pernah tuh ditawarin ikut bimbel ini, ikut les itu. Didiemin aja… Ntar kalau nilai jelek malah disalahin.”

Akhirnya di suatu hari, anak sulung memberanikan dirinya untuk menyampaikan kegelisahan hatinya kepada orang tuanya

Anak sulung: “Ayah, ibu, aku boleh nanya gak?”

Orang tua: “Mau nanya apa?”

Anak sulung: “Kalau aku liat-liat kayaknya ibu sama ayah lebih perhatian ke adek daripada ke aku. Soalnya kalau adek lagi ada masalah pasti ayah sama ibu selalu bantuin. Giliran aku yang lagi ada masalah, gak dibantuin. Boro-boro dibantuin, ditanya ada masalah atau engga aja gak pernah.”

Orang tua: “Ya wajar lah kak… Kan dulu waktu adekmu belom lahir yang diperhatiin selalu kamu. Sekarang gentian, adekmu yang dapet perhatian lebih. Kamu kan udah..

Anak sulung: “Ya tapi sampe kapan? Sampe seterusnya? Kalau aku liat ke anak-anak tetangga yang lain kayaknya orang tua mereka gak pernah beda-bedain anak-anaknya. Semua anaknya dapet porsi perhatian yang sama.”

Setelah berkata demikian si sulung pun pergi ke kamarnya dan menyendiri

            Tiga dialog di atas merupakan dialog yang umum terjadi di dalam kehidupan banyak orang. Saya meyakini bahwa paling tidak sebagian dari kita pernah mengalaminya. Bagi kita yang menjadi anak bungsu, mungkin kita pernah mengalami dibanding-bandingkan dengan kakak kita sendiri, salah satunya dalam hal talenta. Kita merasa bahwa kita tidak bisa apa-apa dibandingkan dengan kakak kita sehingga yang selalu dipuji dan disanjung oleh orang tua kita adalah kakak kita. Bagi kita yang menjadi anak satu-satunya dalam sebuah keluarga, mungkin kita pernah dibanding-bandingkan dengan orang lain karena penyakit bawaan atau kecacatan yang ada pada bagian tubuh kita sehingga seolah-olah kita merasa direndahkan oleh orang tua kita sendiri. Dengan adanya perasaan direndahkan oleh orang tua kita sendiri, mungkin kita pernah merasa tidak ada artinya lagi untuk melanjutkan kehidupan di dunia ini. Bagi kita yang menjadi anak sulung, mungkin kita pernah mengalami perbedaan porsi perhatian antara kita sebagai anak sulung dengan adik kita sebagai anak bungsu. Kita melihat sepertinya adik kita selalu mendapat perhatian dan kasih sayang yang lebih dari orang tua kita. Sedangkan kita? Jangankan diperhatikan, apapun yang kita lakukan demi keluarga selalu dianggap kecil bila dibandingkan dengan adik kita sendiri yang mungkin hanya melakukan hal sederhana. Misalnya, adik kita memperoleh ranking 3 di kelasnya, kita mendapatkan beasiswa full untuk kuliah di salah satu perguruan tinggi negeri. Tapi sepertinya, yang lebih dipuji atau disanjung hanyalah adik kita. Padahal sama-sama berprestasi, namun prestasi kita seperti tidak ada artinya di mata orang tua kita sendiri.
           Di dalam kehidupan keluarga memang sudah seharusnya orang tua kita menerapkan 3 pola penting dalam merawat kelangsungan hidup kita sebagi anak-anaknya, yaitu asah, asih (bukan asin, asin mah garem), dan asuh. Asah adalah pola orang tua terhadap anak untuk mengeksplorasi kemampuan atau bakat di dalam diri anak. Sederhananya adalah mengajar dan atau mendidik anak untuk menemukan kemampuan dalam diri dan mengembangkannya. Asih adalah pola kasih sayang orang tua kepada anak (tidak ada perbedaan atau membanding-bandingkan kasih di dalamnya. Semuanya sama rata). Sederhananya adalah loving (mencintai, mengasihi). Asuh adalah pola untuk memenuhi kebutuhan fisik anak (Soetjiningsih, 2005). Dari ketiga pola ini, pola yang paling disoroti biasanya adalah pola asih, yaitu kasih sayang. Tapi bukan berarti pola yang lain tidak penting. Semua sama pentingnya, tetapi memang pola asih (kasih sayang) memiliki porsi yang seolah-olah lebih besar dari pola lainnya karena kasih sayang bukan hanya tentang perhatian orang tua terhadap anak, melainkan di dalamnya juga terjadi kontak batin antara orang tua dan anak dengan sangat amat dalam. Namun… realitanya banyak anak-anak (bahkan mungkin kita termasuk di dalamnya) yang tidak mendapatkan kasih sayang yang penuh oleh orang tua. Contohnya seperti apa? Kita bisa sama-sama lihat kembali ke 3 realita dialog yang saya tuliskan di awal artikel ini.
Dengan kurangnya kasih sayang orang tua terhadap kita (sebagai anak), mungkin kita mulai merespon dengan cara-cara seperti ini:
1. Kita merasa kesal karena tidak diperhatikan oleh orang tua kita sendiri
2. Kita ingin marah ke orang tua kita tapi takut dosa (udah tau dosa, ya jangan dilakuin lah atuh, mas/mba…..)
3. Kita merasa iri hati, karena kasih sayang yang kita dapat dari orang tua lebih sedikit dibandingkan dengan kasih sayang orang tua kita terhadap kakak atau adik kita
4. Kita merasa tidak ada gunanya keberadaan kita di keluarga kita sendiri. Sehingga mungkin kita ingin pergi dari rumah atau ingin cepat-cepat punya uang yang banyak dan bisa menata kehidupan secara pribadi, mandiri, dan tanpa orang tua
5. Kita merasa sangat depresi dan putus asa karena mungkin orang tua kita seolah-olah seperti merendahkan kita karena penyakit bawaan yang ada di dalam atau pada bagian tubuh kita sehingga kita berpikir untuk bunuh diri.
        Respon-respon yang demikian tentunya tidak wajar atau lebih tepatnya tidak baik untuk kita terapkan di dalam kehidupan keluarga kita masing-masing. Sekalipun (mungkin) kita merasa bahwa orang tua kita membanding-bandingkan kita dengan orang lain atau dengan kakak/adik kita sendiri, janganlah kita membalas orang tua kita dengan membanding-bandingkan mereka juga dengan orang tua tetangga kita atau orang tua teman kita atau orang tua saudara kita. Karena kita harus mengetahui tentang hal yang mendasar bahwa orang tua kita adalah manusia biasa yang tentunya memiliki kesalahan dalam menyatakan atau memberikan kasih sayang kepada setiap anak-anaknya (termasuk setiap kita). Mungkin orang tua kita juga pernah mengalami hal yang sama seperti kita pada waktu mereka masih dalam usia yang belia, remaja, bahkan hingga dewasa. Mungkin dulunya mereka pernah mengalami bagaimana rasanya kurang diperhatikan, kurang diberi kasih sayang yang cukup oleh orang tua mereka di masa lalu sehingga kemungkinan yang sering terjadi adalah orang tua kita menerapkan hal yang sama juga kepada kita sebagaimana dahulu pun mereka diperlakukan sama oleh orang tua mereka. Tetapi…. Pesan saya buat kita semua adalah janganlah balas hal yang buruk dengan hal yang buruk juga. Balaslah hal yang buruk dengan hal yang baik. Janganlah juga kita membanding-bandingkan orang tua kita dengan orang tua lainnya (orang tua teman kita, orang tua tetangga kita, dan lain-lain). Pernyataan saya ini merupakan pengantar dari apa yang bisa kita lakukan jika kita mengalami kondisi-kondisi seperti pembahasan saya di artikel ini. Apa saja? Paling tidak ada 3 hal, yaitu:
1. Tetap menghormati orang tua kita bagaimanapun perlakuan atau perkataan orang tua kita. Mungkin orang tua kita pernah (atau mungkin sering) membanding-bandingkan kita dengan orang lain, tapi jangan sampai hal demikian membuat kita tidak mau menghormati kedua orang tua kita. Hormat adalah hal yang harus “selalu” kita lakukan bukan dalam segala keadaan.
2. Tuhan mengasihi kita apa adanya jadi kasihilah orang tua kita apa adanya. Apa kaitannya? Kaitannya adalah kita sering melakukan dosa, kita sering berbuat hal-hal yang tidak sesuai dengan perintah Tuhan namun kita mengetahui satu hal yaitu Tuhan selalu mengasihi kita apa adanya. Oleh karena itu, kasihilah orang tua kita tanpa syarat sebagaimana Tuhan pun mengasihi kita tanpa syarat.
3. Tetap lakukan yang terbaik atau semampu kita di dalam keluarga kita untuk orang tua kita.

Ketika orang tua kita seolah-olah membanding-bandingkan kita dengan orang lain, janganlah merespon mereka dengan membanding-bandingkan mereka dengan orang tua lainnya, melainkan meresponlah kepada orang tua kita dengan tetap mengasihi dan menghormati mereka apa adanya


Daftar Pustaka
Soetjiningsih, 2005. Tumbuh Kembang Anak dan Remaja 2nd ed, Jakarta: Sagung seto

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Harapan itu ada, pasti, dan nyata

Chapter V Memulai Kehidupan yang Baru

Korupsi? Santuy Wae...